1/21/2016

Masihkah Perlu Dipertahankan?

Jika hubungan perkawinan tidak lagi saling membahagiakan tetapi malah saling menyakiti, masihkah perkawinan itu perlu dipertahankan? Apakah layak membuang seluruh sisa hidup untuk tetap bersama dengan pasangan yang selalu menyiksa dan tidak peduli?

Masihkah Perlu Dipertahankan?

Suatu sore, saya ditelepon oleh saudara yang tidak pernah menelepon saya dan mau nraktir saya makan. Kalau sudah begini, pasti ada udang di balik sosis nih. Berhubung saudara, saya terima ajakan bertemu olehnya setelah pulang kantor. Ternyata saya menjadi orang yang terpilih untuk mendengarkan niatnya untuk bercerai plus alasan-alasannya.

Setelah 11 tahun menikah dan mempunyai dua anak perempuan yang lucu-lucu, ternyata dia menyimpan bom selama 11 tahun tersebut. Sang suami ternyata pemalas, tidak mempunyai inisiatif, tidak mau berhubungan dengan keluarga istri, dan yang terakhir tidak bisa dia terima adalah bahwa sang suami mulai ber-klenik ria dengan menyimpan keris-keris untuk memperoleh kesaktian dan perlindungan alam ghoib.

Ketika saya tanyakan sejak kapan suami seperti itu, dia katakan bahwa semenjak kawin, suami memang menunjukkan ketertarikan terhadap hal-hal magis dia pikir bisa dia rubah (Teeeeet…wrong!). Yang ada malah makin menjadi dan malah mulai mempengaruhi anak-anaknya.

Sembari dia bercerita mengenai sulitnya dia mempertahankan rumah tangganya, saya bertanya, kok ya bisa menekan perasaan selama 11 tahun? Dia katakan, karena ketika dia menikah sudah heboh (perkawinan tidak disetujui sehingga dia membuat dirinya hamil agar bisa menikah). Dia termakan gengsi untuk membuktikan bahwa pilihannya itu benar dan orangtuanya salah.

Walah, gengsinya mahal sekali sampai mengorbankan hidupnya, pikir saya. Sampai-sampai dia tidak betah di rumah dan anak-anaknya lebih sering dititipkan di rumah orangtuanya. Terakhir dia malah sering menginap di rumah orangtuanya. Saya hanya mengatakan untuk melakukan apa yang terbaik untuk anak-anaknya, karena anak-anak tidak boleh sengsara karena keputusan orangtuanya.

Di lain masa, teman saya bertahan dalam rumah tangganya selama 4 tahun semenjak suami menunjukkan sikap semena-mena dan tidak menghormati keluarganya. Setelah suami kena PHK ketika krisis moneter, suami malah sering pulang pagi, mabuk, bahkan nonton filem biru di ruang TV yang terus berputar sampai pagi ketika anak-anaknya bangun dan bersiap-siap untuk sekolah.

Nah, berapa lama harus bertahan kalau suami sulit dinasehati, apalagi sampai anak-anak melihat ayahnya tidak peduli dengan keluarganya? Syukurlah, dia akhirnya bercerai. Mantan suami sekarang malah sering tidak menengok anak-anaknya sehingga anak-anaknya sedih. Nah, mending anak melihat bapaknya tidak peduli, atau anak diberi pengertian untuk menerima keadaan?

Tidak perempuan, tidak laki-tidak, saya suka mendengar keluhan-keluhan yang ringan maupun yang berat sampai niat meninggalkan pasangan yang sudah dinikahi selama bertahun-tahun, namun tetap bertahan di dalam perkawinan. Alasannya banyak macam. Paling banyak adalah anak, kemudian takut pandangan orang kepada dia (kedudukan sosial), dan tidak ingin kehilangan fasilitas selama menikah.

Padahal hati sudah remuk redam karena tersiksa oleh pasangan. Bahkan ada yang sudah mengalami physical abuse (KDRT) tetapi masih membela pasangannya, “Dia memang sedang stress”, “Saya memang salah”. Lha, kalau tangan sudah mendarat di badan, wah kalau saya sih tidak ada menunggu-nunggu lagi, langsung pulang ke orangtua meminta perlindungan deh.

Kadang-kadang saya pikir hebat benar perempuan-perempuan ini, bisa bertahan dalam rumah tangga yang seperti itu. Dirinya tidak bahagia, tertekan, namun bisa menjalankan perkawinan selama belasan tahun dengan alasan apapun juga. Membuat saya bertanya, apakah alasan saya bercerai dulu itu tidak kuat?

Tetapi kemudian saya berbalik bertanya kepada diri sendiri, apakah saya bisa melihat diri saya bersama (mantan) suami 35 tahun ke depan, duduk di teras dan merasa nyaman? Ternyata jawabannya tidak, ternyata I don’t want to live with that person that I married for the rest of my life. Masalahnya, waktu pacaran, semua terasa indah.

Setelah menikah, justru ekspektasi kita terkadang terhempas oleh hal2 yang prinsip. Jadilah perkawinan menjadi alat untuk membuat hubungan “harus” bisa berjalan. Padahal, apakah ada keharusan? Kalau hubungan sudah tidak harmonis dan masing-masing tumbuh ke arah yang berbeda, apalagi menjadi sosok yang berbeda dari yang kita kenal dahulu (ke arah yang negatif maksudnya), apakah perlu dipertahankan?

Demi apapun rasanya kalau perkawinan yang tidak sehat tidak perlu diteruskan. It just didn’t work out.

Seperti yang saya sebutkan di atas, anak sering menjadi alasan seorang perempuan mempertahankan perkawinannya yang tidak bahagia. Karena seringnya menjadi alasan, saya mulai menerima bahwa mungkin memang anak adalah alasan kuat kenapa seseorang tidak mau bercerai. Karena nanti tidak bisa bertemu anaknya, atau takut anaknya nanti terlantar atau sedih, dll, dsb, dst.

Padahal, saya tahu betul bahwa seorang anak tahu kalau ada yang tidak beres dalam keluarga, walaupun anak sering dianggap muda. Wong saya juga pernah jadi anak kok, dan saya juga merasa tidak enak kalau orangtua saya bertengkar hebat, walaupun kamar ditutup. Dinginnya hubungan orangtua pasti terasa oleh seorang anak. Apakah itu baik untuk edukasi anak?

Nah, kalau anak melihat contoh yang buruk dan terekspos dengan hal-hal seperti pertengkaran terus menerus atau dijuruskan ke hal-hal yang menurut prinsip Anda tidak bisa Anda terima (misalnya, dalam hal saudara saya, diajarkan hal-hal berbau mistis), bukannya malah Anda harus melindungi anak-anak Anda? Ada banyak kawan saya yang mempunyai anak namun anak bukan menjadi alasannya untuk bertahan.

Kalau menurut saya, orang-orang yang membuat anak menjadi alasan mungkin malah bersembunyi atau mencoba melemparkan ketidak bisaannya dalam mengambil keputusan kepada anak. Lha, kasihan bener si anak kalau tahu orangtuanya tidak bahagia karena dia. Teman saya pernah berkata, “No child will say, ‘thanks for being together for me’ to their parents”.

Yang ada, biasanya anak-anak yang sudah cukup dewasa malah mengatakan, “Asal mama/papa bahagia deh, aku juga tidak suka melihat kalian tidak bahagia”. Rule #1: jangan menyalahkan anak karena ketidak sanggupan mengambil keputusan.

Seorang pegawai di kantor saya suaminya berselingkuh beberapa tahun yang lalu sehingga dia keluar dari rumah membawa anak-anknya saja (sebenarnya sih anak-anaknya yang mau ikut ibunya). Dia sudah tidak kuat diselingkuhi dan dibohongi. Dia merasa harga dirinya jatuh berkeping-keping oleh perlakuan sang suami.

Yang tadinya tinggal di rumah besar dengan beberapa mobil dan tidak bekerja, terpaksa harus mulai dari bawah kembali mencari pekerjaan apapun yang ada (dan halal) untuk menghidupi keluarganya dan membenahi dirinya sendiri sebagai bentuk respek terhadap dirinya sendiri. Syukurlah, sekarang posisinya dia sudah bagus dan anak-anaknya sudah selesai sekolah.

Dia berkata, “Gue bangga bisa mengambil keputusan cerai walaupun saya harus mulai dari bawah. Daripada gue gila, kesian anak-anak gue kalau gue gila”. Sementara, banyak perempuan yang menerima bahwa sifat laki-laki memang begitu, asal balik botol ya tidak apa-apalah, masih banyak perempuan yang sadar bahwa dirinya patut diperlakukan lebih baik. That they deserve better.

Ya, memang iya, kalau suami sudah tidak menghargai kita dan perkawinan dengan berselingkuh, siapa lagi yang menghargai kita kalau bukan diri sendiri?

Tapi sekali lagi, kadang-kadang kita dihadapkan di persimpangan jalan ketika perkawinan tidak berjalan seperti yang kita harapkan. Kalau sekedar toleransi saja ternyata tidak cukup karena toleransi itu ada batasnya. Harus ada rasa menerima pasangan secara utuh dengan apa yang bisa diberikannya dalam perkawinan (menerima kekurangannya, maksudnya).

Tapi sampai kapan? Seorang rekanan kerja saya dulu mengatakan, selama pasangannya tidak mencelakakan kesehatan dan mencelakai dirinya, dia tidak akan berfikir untuk bercerai. Hmmh, boleh juga, walaupun luas pengertiannya kalau kesehatan jiwa juga dimasukkan sebagai faktor.

Bisa jadi, saya orang yang terlalu egois dan memikirkan diri saya sendiri ketika memutuskan untuk berpisah walaupun saat itu umur perkawinan saya baru 3,5 tahun. Lha suami tidak mau diajak ke konsultan perkawinan dan tidak merasa ada masalah dalam perkawinan, sementara saya tergantung-gantung bertanya dalam ketidak pastian sehingga mempengaruhi kesehatan (berat saya sampai 52 kilogram, padahal sebelum kawin berat saya 59 kilogram)

Ya daripada kita saling menyakiti, kami sepakat untuk berpisah dengan, alhamdulillah, baik-baik. Lagipula, kalau memikirkan status sosial ortu atau stigma yang melekat yang diberikan lingkungan kepada janda, emangnya kalau saya tidak happy mereka yang kasih saya makan? Ngga juga kan? Tiap orang berhak untuk memperjuangkan kebahagiaan dan harapannya serta cita-citanya.

And they lived happily ever after”. Itu akhir dari cerita-cerita atau dongeng yang selalu diperdengarkan kepada anak-anak perempuan kita. Bukan, “And they lived together ever after” atau “And they lived sadly ever after”. Hidup terlalu indah untuk dibuang-buang.

Hidup harus bisa dinikmati dan kita berkewajiban untuk membahagiakan diri kita sendiri dan mensyukuri hidup kita. Sering kali kita dengar bahwa Tuhan tidak menyukai umatnya yang bercerai. Menurut saya Tuhan lebih tidak menyukai lagi umatnya yang tidak bisa meraih kebahagiaan setelah Dia memberikan segitu banyak nikmat di dunia ini.

Terima dan nikmati, tapi kalau sudah menyengsarakan, ya terima dan anggap bahwa dibalik semua yang terjadi, pasti ada hal positif yang menanti di ujung terowongan, walaupun terowongan itu panjang jalannya. Tinggal kita yang mengambil keputusan, terus berjalan, atau diam ditempat menyesali nasib dan pasrah.


Origin: Janda Kaya)

Anda juga bisa menuliskan dan berbagi dengan seluruh sahabat pembaca "TJanda". Menulislah sekarang dan kirimkan melalui halaman Kontak.